ANTARA JOB HOPPING DAN JOB HUGGING, MANA YANG LEBIH BAIK
Di dunia kerja sekarang ada dua tren yang sering jadi bahan obrolan. Pertama job hopping, yaitu kebiasaan karyawan yang suka pindah-pindah tempat kerja dalam waktu singkat. Kedua job hugging, yakni mereka yang memilih bertahan lama di satu perusahaan karena merasa nyaman.
Anak muda zaman sekarang banyak yang condong ke job hopping. Alasannya sederhana, ingin gaji lebih besar, posisi lebih bagus, atau sekadar mencari pengalaman baru. Sementara generasi yang lebih senior cenderung job hugging, karena merasa stabilitas dan keamanan lebih berharga daripada tantangan yang belum pasti.
Ekonomi memandang keduanya punya sisi positif dan negatif. Job hopping membuat perusahaan harus sering buka lowongan baru, biaya rekrutmen naik, dan pengetahuan yang dibawa karyawan sering hilang begitu saja. Tetapi di sisi lain, hopper membawa ide segar, keterampilan baru, dan energi yang bisa mendorong inovasi. Sebaliknya job hugging memberi stabilitas. Perusahaan tidak perlu khawatir soal retensi, loyalitas karyawan tinggi, dan budaya kerja bisa terjaga. Namun jika terlalu lama, risiko stagnasi juga besar.
Menariknya, jauh sebelum istilah ini populer, seorang ulama besar bernama al-Syaibani sudah membahas soal pekerjaan dalam kitab al-Kasb. Ia menulis bahwa bekerja bukan hanya urusan mencari nafkah, tetapi juga bagian dari ibadah. Dengan bekerja, seorang Muslim menjaga kehormatan diri, memberi nafkah keluarga, dan menebar manfaat lewat zakat serta infak.
Pandangan ini membuat kita melihat job hopping dan job hugging dengan cara berbeda. Pindah kerja bisa dibenarkan jika tujuannya mencari penghidupan yang lebih baik, lebih halal, dan lebih adil. Bertahan lama di satu tempat juga mulia jika mencerminkan kesetiaan, rasa syukur, dan amanah. Yang terpenting bukan pindah atau bertahan, melainkan bagaimana kita bekerja dengan profesional, adil, dan berniat ibadah.
Pada akhirnya pilihan ada di tangan masing-masing. Dunia kerja boleh berubah cepat, istilah bisa berganti, tapi pesan al-Syaibani tetap relevan. Pekerjaan bukan sekadar karier, melainkan jalan untuk menjaga martabat, memberi manfaat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.