FEBI TURUT HADIR DALAM AICIS 2022 BALI, BERTAJUK FUTURE RELIGIUS IN G20: DIGITAL TRANSFORMATION, KNOWLEDGE MANAGEMENT AND SOCIAL RESILIENCE
Annual Conference of Islamic Studies (AICIS) kembali digelar di Ball Room Four Point Hotel Ungasan, Bali. Pada 1-4 November 2022. Acara ini turut dihadiri Gubernur Bali, Direktur Jenderal Bimas Islam, Direktur Jenderal Bimas Kristen, Dirjen Bimas katolik, Dirjen Bimas Hindu, Dirjen Bimas Buddha, Kepala Balai Litbang dan Diklat, Inspektur Jenderal, Rektor Universitas Hindu Negeri, Pimpinan PTKIN se-Indonesia.
Selain Dr. H. Khairil Anwar, M.Ag., selaku Rektor IAIN Palangka Raya, Dr. M. Ali Sibram Malisi, M.Ag. (Dekan FEBI IAIN Palangka Raya) turut hadir dalam kegiatan tersebut bersama dengan jajaran, Sahrian Sani, M.Pd.I (BPP FEBI), Ninda Ayu Sagita, M.E (Staf Dekan FEBI).
Lebih lanjut, Ramdani yang mewakili Menteri Agama mengatakan, “Tajuk dari AICIS ke 21 ini bercerita tentang Future Religius in G20: Digital Transformation, Knowledge Management, and Social Resilience. Menurut ahli manajemen saat ini kita mengalami dinamika turbulensi budaya yang luar biasa. Kita mengalami ketidakpastian, sehingga kita menemukan lawan-lawan kata ketika kita menangkap konteks-konteks kehidupan. Sesuatu yang tetap pada hari ini adalah perubahan. Pada saat yang sama kita mengalami dinamika yang disebut dengan kompleksiti, bahwa dunia kita bergerak dalam keadaan kompleks. Menyelesaikan satu persoalan bisa jadi memunculkan sepuluh persoalan. Menyelesaikan sepuluh persoalan, menyisakan dua permasalahan. Para ahli menajemen menyebutnya bahwa dunia hari ini adalah dunia yang serba tidak jelas. Dasar-dasar kebaikan dan dasar-dasar kebenaran menjadi bias. Maka dari itu agama harus hadir.”
Salah satu agenda kegiatan yang diikuti, salah satunya adalah adalah PTKN (Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri) Leader Forum yang diadakan di Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Bangli.
Mengusung tema “Local Wisdom for Religious Harmony: Lesson Learned from Best Practices in Bali“, forum ini menghadirkan berbagai macam pemuka agama antara lain Prof. Mahmud (Rektor UIN Sunan Kalijaga), K.H. Mahrusun Hadyono (Ketua MUI Bali), Romo Evensius Dewantoro Boli Faton (Uskup Denpasar), dan Ida Pedanda Gede (Pedanda Hindu dari Blahbatuh).
Dalam presentasinya, Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si., C.SEE menjelaskan bahwa moderasi beragama merupakan cara dan sikap untuk mengurangi kekerasan dan sebagai komitmen bersama untuk menjaga kerukunan umat beragama.
K.H. Mahrusun Hadyono turut menyatakan, “Bali adalah contoh yang baik dalam pengimplementasian moderasi beragama. Salah satu desa yang menggambarkan hubungan umat Islam dan Hindu serta kerukunannya yang terjaga hingga saat ini adalah Kampung Loloan di Jembrana. Keberadaan orang Bugis-Melayu di desa ini telah meninggalkan jejak sejarah berupa produk budaya yang menjadi unsur penting dalam budaya Loloan, antara lain pencak silat Bugis, kesenian Burdah, pakaian adat Melayu Bugis dan sebagainya yang dalam beberapa hal masih dilestarikan oleh masyarakat di Desa Loloan.”
Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan Romo Evensius Dewantoro Boli Faton, “Sebagai bangsa yang majemuk, intoleransi masih menjadi ancaman. Salah satu cara untuk melawannya adalah melalui moderasi beragama. Bagaimana menjadi Indonesia Sejati sebagai implementasi moderasi beragama menuju Indonesia yang maju dan toleran”.
Terakhir, Ida Pedanda Gede juga menerangkan bahwa bangsa Indonesia mewarisi gen keragaman yang kental. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pandangan sebagai berikut (1) kepulauan yang terletak di antara ribuan pulau yang berbeda, Akibatnya berbagai suku, wajah, kelas, dan bahasa, tumbuh beragam. Dari segi agama, sebelum masuknya agama asing ke Indonesia, ibadah dilakukan dengan berbagai cara menurut kepercayaan setempat. Letak geografis ini menunjukkan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan yang harus dihormati. (2) Sejak awal, agama-agama yang datang dari luar dan menjadi agama negara pada masa kerajaan seperti Siwa dan Buddha hidup rukun. Bahkan kedua agama tersebut menjadi agama resmi kerajaan Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal sejarah, masalah keragaman agama telah ada. (3) Setelah jatuhnya Majapahit, Islam berkembang pesat, diikuti oleh Kristen dan Katolik. Pada masa kemerdekaan kelima agama ini kemudian diakui sebagai agama negara. Ditambah lagi Khonghucu secara resmi dinyatakan sebagai agama negara ketika Indonesia dipimpin oleh Gus Dur. Menghargai kepercayaan orang lain adalah prinsip yang harus ditanamkan sejak awal. (MA)
Sumber: https://kampusitahnews.iain-palangkaraya.ac.id/
FEBI JAYA! JAYA SEJAHTERA